f

Mak Sinah

/
0 Comments
Ibu, Bidadari yang Terlihat
Sudah lama aku tidak pernah melihat sesosok wanita paruhbaya itu lagi. Tidak pernah melihat sanggul kecilnya yang ikut membungkuk tatkala sedang menyapu halaman rumahnya yang selalu tampak bersih itu. Iya, karena hampir setiap sore atau bahkan pagi, ia selalu menyapunya menggunakan sapu lidi yang sudah tak panjang lagi.
Sudah lama juga aku tidak pernah mendengar sapaan,” Mpun berangkat cah ayu?.” Meluncur dari mulutnya yang pucat dan jarang terpoles gincu. Ia, imigran dari Jawa Timur yang datang ke kota ini bersama anak dan suaminya, beberapa tahun yang lalu. Berharap bisa merubah setitik atau dua titik laju ekonomi keluarga,dan mengambil peruntungan nasib di tanah sunda ini.
Aku memanggilnya Mak Nah, wanita tua yang lembut dan sederhana. Awalnya aku sama sekali tidak mengerti setiap sapaan yang dilontarkannya. Tapi lambat laun, ia menjelaskan sedikit demi sedikit bahasa daerahnya. Rumahku terletak kurang lebih 100 meter dari rumah Mak Nah. Setiap berangkat kerja, aku selalu menegurnya. Tentu saja saat ia sedang menyapu halaman rumah ditemani anak semata wayangnya, Rahmad.
Rahmad lebih kurus dan berantakan dibanding  teman-teman sebayanya. Dan diusianya yang sudah 7 th ini, Mak Nah belum bisa mendaftarkannya sekolah karena keterbatasan biaya. Namun aku dapat melihat binaran mata pemuda kecil itu. Ada mimpi dan ketabahan yang luar biasa.
Kadang, aku merasa iba dengan keadaan mereka. Suami Mak Nah yang hanya sebagai tukang becak, tentu sangat kesulitan memenuhi kebutuhan hidup yang meradang. Padahal dizaman sekarang ini,becak sangat jarang diminati. Keberadaan mereka disingkirkan oleh kendaraan lain yang dirasa lebih cepat dan efektif.
Dengan penghasilan yang tidak menentu, keluarga Mak Nah jarang bisa makan 3x sehari. Dan tak jarang pula, aku memberikan beberapa pecahan rupiah untuk sekedar uang jajan Rahmad. “Matur suwun sanget cah ayu…” selalu perkataan itu yang muncul tiap kali aku memberikan sesuatu padanya.
Ditengah kemelut hidupnya yang keras, Mak Nah tetap tabah dan menunjukkan kegembiraan di mata orang-orang. Ketegaran hidupnya patut diacungi jempol. Pernah suatu ketika, Mak Nah bekerja sebagai Pembantu di rumah Bu Hasim, seorang guru yang sebentar lagi pensiun. Namun setelah beberapa bulan bekerja, Bu Hasim meninggal dunia dan Mak Nah kembali menganggur.
Lambat laun, pertengkaran mak Nah dan suaminya mulai menjadi bahan gosip warga sekitar. Aku pun pernah tidak sengaja memergoki mereka beradu mulut dan bertengkar. Aku menduga itu semua karena faktor ekonomi.
Dan sejak itupun, aku jarang melihat Mak Nah menyapu halaman. Hanya Rahmad yang nampak tengah asyik bermain kelereng..” Rahmad, emak teh kemana?.” Tanyaku. “ Emak sakit mbak, pusing.” Jawabnya polos. Dan ketika aku menjenguknya, lagi-lgi Mak Nah selalu menampakkan wajah yang riang. Ia sama sekali tidak ingin orang lain ikut sedih dan mengasihini hidupnya.
Hari-hari berlalu dan suami Mak Nah semakin jarang pulang. Mak Nah juga tidak muncul sama sekali. Kabarnya, mereka akan pulang kampung ke Jawa Timur. Sore itu, aku menyapa Rahmad yang sedang duduk diteras rumah. Pakaiannya tampak lebih bagus dari biasanya. Dia juga memakai sepatu Donald yang jika ia berjalan, bunyinya menyerupai ” ciiitt…cittt…cittt”.
“Waah, mau jalan-jalan kemana atuh? Mana kasep pisan.” Sapaku ramah. “mau pulang mbak.” Jawabnya sambil tersenyum, memperlihatkan barisan giginya yang gigis.” Lah, kenapa? Ngga mau ketemu mbak lagi ya?” godaku. Dia hanya tersenyum lagi.
Tidak lama setelah itu,Mak Nah tampak sedang sibuk membereskan  pakaian mereka. Barangkali memang benar kabar yang beredar. ”Rahmad, mbak boleh tanya?.” Rahmad mengangguk lucu. ” Bapak dimana,?”. Tanyaku pelan. “Bapak minggat, juuauuuuhhh….”. katanya polos. Akhirnya Mak Nah keluar, ”Ssstt…” bisiknya pada Rahmad.Mak Nah bilang bahwa ia akan kembali ke Jawa Timur. Tidak seperti biasanya, setelah berpamitan Mak Nah tidak mengucap sepatah katapun. Mimik wajahnya Nampak pucat dan menyimpan kesedihan.
Dengan perasaan yang campur aduk, aku memandang kepergian mereka yang mulai menghilang diujung jalan. Ada banyak pelajaran hidup yang berharga yang aku dapatkan dari sosok perempuan sederhana yang lugu dan apa adanya. Perempuan yang selalu tabah dan mampu menyembunyikan kegetiran hidup hanya untuk membuat orang lain agar tidak merasakan hal yang sama.
Mak Sinah, sosok perempuan hebat yang akan selalu aku kenang. Dalam hatiku pun, aku masih mengharapkan dapat bersua dengannya lain waktu. Meskipun ia bukan anggota keluarga maupun kerabatku, aku menyimpan keinginan untuk menjadi bagian darinya.
                                                                           ***


You may also like

Tidak ada komentar:

Flickr Images

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Sandi Ovinia Putri

Tulisan tidak hanya berhenti di satu masa dan hanya satu kepala.
Tulisan bisa lebih kuat dari pada peluru, sebab ia mampu menembusa daya pikir kita.

Popular Posts