f




    Saat itu, rasanya semua berjalan biasa-biasa saja dan tampak normal. Tak ada keraguan bahkan kecemasan yang menderu hati. Tak ada tanda tanya yang masuk tanpa permisi. Aku tak menyangka waktu yang kuhabiskan bersamamu berlalu begitu cepat. Apakah detik memang mampu berlalu secepat itu? Apakah tahun yang berganti, memang mampu berlari tanpa menunggu?. Ah, aku tahu jawabannya. Mungkin karena terbiasa, bersua denganmu di setiap kesempatan bukanlah hal istimewa. Itu sebabnya sadarku menjadi bias, aku kira semua berjalan sesuai dengan jalur indah yang ku harapkan.
    Oh ya, aku lupa bahwa kita sudah lama tak bertukar kabar. Aku lupa karena aku kira kita masih seperti biasa. Apakah hanya aku yang merasa bahwa kita tetap sama? Jika iya, aku akan pura-pura tak tahu. Kau tak perlu menjawabnya. Nanti aku yang malu. Karena bisa jadi, aku satu-satunya orang yang merindukanmu.
    Sekarang masih sore. Pukul lima. Di luar sedang hujan. Tiba-tiba aku ingat, ini bulan Desember. Waktu kau bilang bahwa sepertinya kita sudah tidak bisa bersama, ternyata sudah hampir dua bulan. Tuh kan, aku lupa lagi. Baru saja aku hendak membuka smartphoneku. Mau bilang, “Keluar yuk? Laper”. Di luar masih hujan, lidahku kelu memandang benda canggih berbentuk persegi panjang itu. Kenapa tak berdering? atau bergetar sekalipun ? sekali saja. Hh, jadi begini, hanya aku satu-satunya  yang masih menanti kabar.
    Aku bukannya menyesali dan berlaku bodoh dalam menyikapi hal ini. Hanya saja, ternyata sulit. Sulit untuk mengakui bahwa ada kenangan yang mendadak harus dihapus secara paksa. Mungkin tak masalah jika tetap tinggal, tapi lambat laun, hal itu semakin asing dan menyayat. Sulit untuk sekedar percaya, bahwa kau melakukan semua ini atas nama kebaikan. Kebaikan kita bersama kau bilang. Sulit untuk bersedia kalah dari seseorang yang awalnya tak ku kenal, yang awalnya tak pernah ku sapa, justru menjadi bagian penting dalam relungmu kali ini. Sempat aku egois, dan merasa bahwa tindakanmu ini seperti anak kecil yang masih plinplan. Tapi nyatanya, aku menyayangi anak kecil itu. Dan nyatanya memang sulit, merelakanmu pada seseorang yang telah menunggumu di trotoar malam itu. Parasnya manis, nampak cerdas dan berkelas. Sulit untuk mengakui bahwa ia lebih baik dariku. Dan sekali lagi, ternyata sulit, untuk berdamai dengan kehilangan...
   


Kamis,01/12/2016, Kampus Ungu melaunching program unggulan bertajuk “GeMas Peduli HIV/AIDS” (Gerakan Masyarakat Peduli HIV/AIDS)  yang di dukung oleh Exxon Mobil, Pertamina dan SKK Migas. Flashmob mahasiswa STIKes ICsada dan Talkshow Filosofi Pita Merah menjadi agenda Launching program tersebut.

HIV/AIDS  yang diperingati pada tanggal 01 Desember menjadi waktu yang tepat bagi Kampus Ungu, sebutan akrab STIKes ICsada Bojonegoro dalam melakukan kegiatan Soft Launching program unggulan mereka, GeMas Peduli HIV/AIDS. Program yang telah mendapat dukungan dan partisipasi yang lebih dari Pertamina, Exxon Mobil, dan SKK Migas ini menjadi salah satu trobosan baru STIKes ICsada Bojonegoro dalam meningkatkan upaya promotif dan preventif terkait HIV/AIDS.
Kegiatan ini diawali dengan penampilan Flashmob mahasiswa STIKes ICsada Bojonegoro di depan Kampus. Penampilan flashmob tersebut bertujuan untuk mengkampanyekan pencegahan serta meminimalisir penyebaran virus HIV dengan lebih menarik dari pada hanya kampanye menggunakan poster maupun brosur. Mahasiswa Kampus Ungu begitu antusias menampilkan kekompakan dance  GeMas HIV/AIDS di jalan raya. Banyak warga sekitar yang menyempatkan waktu sejenak untuk menyaksikan flashmob tersebut.
Agenda selanjutnya merupakan Talkshow Filosofi Pita Merah dalam peringatan Hari HIV/AIDS Sedunia. Talkshow yang dihadiri oleh perwakilan kelas masing-masing semester baik prodi S1 Keperawatan maupun D3 Kebidanan ini berlangsung seru dan menarik. Narasumber terdiri oleh Manajer program GeMas HIV/AIDS, Ns. M.Yusuf Efendi, S.kep, Beta Wicaksana selaku staf humas Exxon Mobil dan juga NS. Ferawati,S.kep selaku KaProdi S 1 Keperawatan STIKes ICsada Bojonegoro. Pembahasan seru terkait pemilihan warna pita merah untuk memaknai HIV/AIDS menjadi topik utama dalam Talkshow pada pukul 13.00 WIB tersebut.

Pemberian doorprize berupa tas ransel dari Exxon Mobil juga turut meramaikan acara pada siang hari itu. Terdapat lomba  selfi foto booth dengan mengunggah kalimat promotif dan preventif HIV/AIDS. Dalam sambutannya, Beta Wicaksana menekankan bahwa Program GeMas HIV/AIDS ini diharapkan mampu terlaksana dengan baik. “Kami harap selama 30 tahun ke depan Exxon Mobni dan Kampus Ungu bisa menjadi tetangga yang baik. Tentunya kami juga bangga untuk memamerkan kemampuan partner kami yang nantinya mampu membuktikan keberhasilan program ini.Terlebih jika mampu melebihi indikator yang diinginkan.” Jelas Beta, staf Humas Exxon Mobil.
“Sejauh ini Kampus Ungu mampu membuktikan mereka berkompeten dalam menciptakan gagasan-gagasan baru yang bisa kita aplikasikan juga dalam perusahaan. Karena itu kita juga sangat tertarik dengan program ini dan sepakat untuk menjalin kerja sama.Dan Exxon Mobil barupertama kali bekerja sama dalam waktu jangka panjang di program yang di rumuskan oleh kampus Ungu ini. Sebelumnya, kita hanya bekerja sama untuk program-program lain dalam jangka waktu pendek.”tambah Beta.

Manajer Program, NS. M.Yusuf Efendi,S,Kep menyatakan bahwa Talkshow siang ini juga menjadi soft launching program GeMas HIV/AIDS. “Acara ini bertujuan untuk melauncing program GeMas HIV/AIDS yang merupakan program unggulan kampus ungu. Selain itu launching ini dilakukan bertepatan pada tanggal 1 Desember sebagai wujud cinta dan wujud kepedulian terhadap penderita HIV/AIDS.” Tambahnya. Selain itu, mahasiswa Kampus Ungunjuga terlibat dalam program GeMas HIV/AIDS ini sebagi surveyor yang nantinya akan melakukan penggalian data di lapangan. Sasaran model pelaksanaan program tersebut adalah di kec.Gayam. Setelah itu, acara diakhiri dengan pemotongan tumpeng oleh Ketua STIKes ICsada Bojonegoro, Hasan Bisri SE,MSA. 


Cover depan buku


JUDUL           : PAGI GERIMIS
PENULIS       : NURHASANAH
PENERBIT     : ELEX MEDIA KOMPUTINDO
JUM. HAL      : 292 + COVER
TAHUN          : 2016
                
Untuk Anda Yang Kelak Merindukan Suasana Kampung.
            Buku berjudul Pagi Gerimis karya Nurhasanah ini dipersembahkan untuk setiap orang yang kelak mungkin akan merindukan suasana kampung halaman yang dengan polosnya masih begitu sederhana dan apa adanya. Penulis kelahiran Tegal yang sempat menempuh pendidikan Sastra Indonesia di Universitas Padjadjaran ini menceritakan sebuah keluarga miskin di kampung bernama Cemplong. Keluarga sederhana tersebut memiliki seorang anak laki-laki, dan dua anak perempuan.
           Sri dan Bawon, kakak beradik yang ingn bertukar peran dan lahir serta tumbuh dalam keluarga papa. Akankah gerimis yang selalu menyahut pagi mereka, menjadi pelangi? Ataukah menjadi badai? Begitulah konflik yang sebenarnya dibahas dalam buku ini.
            Anak perempuan pertama bernama Sri yang begitu cantik dan centil, sedang anak perempuan kedua bernama Bawon yang pendiam, pemalu dan menarik diri dari lingkungan sosial. Berbeda dari kakaknya, Bawon selalu takut dan tidak percaya diri karena dia memiliki gigi yang tongos, tidak cantik seperti Sri. Bawon tumbuh sebagai anak kecil yang selalu menyendiri dan menciptakan teman khayalan sebab teman-temannya selalu mengejeknya. Ia menghabiskan waktunya dengan Gadis Kecil di Dasar Sumur,atau Bocah Ayu di Pekarangan, dan semua itu hanyalah teman khayalan Bawon. Menurut masyarakat Cemplong, Bawon ialah anak orang gila yang dirawat oleh emak dan bapak Sri sebab tidak ada satu orang pun yang mau merawatnya.
            Sementara Sri tumbuh dengan sifat centil dan kepercayaan dirinya yang menjadi salah satu pembuat masalah dalam keluarga. Bandel, keras kepala, dan bertindak ceroboh. Bahkan karena dianggap sudah mempermalukan orang tua karena merusak hubungan rumah tangga orang, Sri dan keluarga diusir dari Cemplong dan akhirnya mengonrak sebuah rumah di Kedung Jambu. Ketika beranjak remaja, Sri menjadi kembang desa yang kemudian dilamar oleh anak juragan Bawang, namun kisruh kampanye berbagai partai membuat Sri harus merelakan kegadisannya untuk seorang pemuda bernama Untung yang pernah ditolak lamarannya oleh Sri. Sri rela menyerahkan kegadisannya tersebut untuk menyelamatkan keluarganya dari kisruh kampanye yang juga diikuti oleh Untung dan minggat ke Jakarta, sebuah kota yang diimpikannya sejak kecil.
            Setelah itu, emak Sri menyuruh Bawon untuk menggantikan Sri menjadi istri anak juragan Bawang. Namun, Bawon yang masih kelas 5 SD tersebut juga memutuskan minggat dari rumah karena tidak mau hidup bersama lelaki yang bukan pujaannya. Waktu terus berjalan hingga akhirnya Bawon me nikah dengan pemuda juling bersma Kasum yang mencintainya dengan apa adanya meskipun Kasum bertemperamen kasar. Sementara Sri, telah menikah dengan seorang pemilik took di Jakarta dan memiliki seorang anak.
            5 tahun lebih telah berlalu, Sri memutuskan kembali ke kampung meskipun dalam hati tidak yakin keluarganya masih mau menerimanya. Di kedung Jambu, dia mendapati Bawon diasuh oleh seorang Bandar togel yang ternyata adalah ibu kandung Bawon sendiri. Isu bahwa Bawon adalah anak dari orang gila ternyata tidak benar. Ketika Sri mengajak Bawon tinggal bersama, Bawon menolaknya dan pergi menghilang… Bawon menyimpan cinta yang tulus pada seorang pemuda bernama Bima yang dulu hendak dinikahinya untuk menggantikan Sri. Ah, jika dulu aku tidak minggat pasti aku sudah bersama mas Bima, bukan Mas Kasum yang juling itu, sesal Bawon dalam hati. Akhir dari buku ini menjadi akhir yang menggantung, namun cenderung pada sad ending. Keluarga Sri yang tercerai berai dan nasib saudaranya yang tidak jelas menjadi penutup pada bab terakhir buku berjudul Pagi Gerimis ini.
                                                    
Kelebihan dan Kekurangan Buku
            Kelebihan dalam buku ini, penulis mampu menggambarkan suasana kampung melalui budaya bermain anak-anak zaman dulu, tutur kata serta pekerjaan-pekerjaan tani dan buruh serta anggota keluarga yang merantau di kota. Penulis mampu melukiskan kesederhanaan sebuah kampung yang mampu membuat pembaca ingin mendengar lagi bagaimana kabar kampung halamannya?. Tokoh-tokoh dalam cerita juga dibuat sedemikian rupa khas orang kampung yang apa adanya. Kekurangan dari buku ini, penulis memunculkan tokoh-tokoh baru di tengah cerita yang agak membingungkan dan menghilangakan atau tidak membahas sama sekali tokoh-tokoh yang muncul saat awal cerita, sehingga terkesan tidak menyatu antara baba satu dengan yang yang lain meskipun sebenarnya membahas hal atau tokoh yang sama


 
Pemaparan Hasil Sementara Program Keluarga Binaan

Kampus Ungu (STIKes ICsada Bojonegoro) adakan Pra Mini Seminar pada minggu ke dua bulan November di ruangan Bety Newman guna mengevaluasi perkembangan program Keluarga Binaan dari semester 1,3,5, dan 7.
            Suasana berbeda tampak terlihat jelas di STIKes ICsada Bojonegoro saat desain ruangan kelas Bety Newman di manipulasi sedemikian rupa menjadi sebuah forum diskusi yang begitu kental akan budaya keilmuan. Terdapat banyak kursi untuk para peserta dan juga dosen bahkan Ka Prodi serta Ketua Yayasan Darma Cendekia Husada Bojonegoro.
          Jumat pagi yang berawan tersebut menyambut para perwakilan kelompok Kabi (Keluarga Binaan) yang terdiri dari 81 kelompok Kabi dari semester 1,3,5,dan 7 serta tersebar di desa Sumodikaran, desa Kepatihan, dan sekitar desa Sumodikaran. Acara Pra Mini Seminar pagi itu membahas berbagai hal terkait perkembangan program unggulan kampus ungu, PERSAGA (Perawat Sahabat Keluarga) yang digagas melalui konsep Keluarga Binaan.
         Evaluasi dipimpin sendiri oleh Nurul Jariyatain, S.H,M.kn selaku ketua Yayasan Darma Cendekia sekaligus ketua penjamin mutu STIKes Icsada Bojonegoro. Pra Mini seminar yang dimulai pada pukul 10.00 WIB tersebut tidak hanya berfokus pada evaluasi mahasiswa yang menjadi kelompok Kabi melainkan juga para dosen dan dosen wali setiap semester.  Pemaparan hasil sementara keluarga binaan beserta kasus dan juga teori keperawatan yang dipakai para mahasiswa menjadi tolak ukur penilaian dalam Mini Seminar yang nantinya akan diadakan menjelang UAS. Selain itu, harus ada prodak yang dapat memberikan sebuah peluang wirausaha dalam setiap masalah kesehatan yang ditemukan selama Kabi berlangsung. “Dengan mata kuliah Nerspreuner, diharapkan para mahasiswa mampu menciptakan peluang usaha baik menciptakan produk maupun jasa yang akan mereka implementasikan melaui program Kabi ini, khususnya untuk semester 5 dan 7 yang telah lebih paham mengenai enterpreunership dalam dunia kesehatan.” Jelas Nurul Jariyatin S.H,M.kn.
Ketua Yaysan Darma Cendekia Husada saat lakukan evaluasi dosen dan mahasiswa

          Pra Mini Seminar yang diadakan pagi itu diharapkan dapat menjadi evaluasi internal kelompok yang telah tersebar di berbagai wilayah dan dapat memperbaiki kekurangan dalam implementasi keperawatan yang telah dlaksanakan sebelum memaparkan laporan akhir saat Mini Seminar.” Tujuan dilakukan evaluasi pra mini seminar ini adalah agar dapat membenahi proses Kabi sebelum pelaksanaan selesai. Diharapkan output Kabi bisa lebih baik dalam kemanfaatan dimasyarakat. Selain performance saat mini seminar yang maksimal, Program Kabi juga bisa memiliki nilai jual.” Tambah Ns. Ferawati, S.Kep selaku Ka Prodi S1 Keperawatan STIKes ICsada Bojonegoro. [ Sandi,Adhe]
Ronggeng Dukuh Paruk

JUDUL           : RONGGENG DUKUH PARUK
PENULIS       : AHMAD TOHARI
TAHUN          : 2003
PENERBIT     : GRAMEDIA
JUMLAH        : 408 hal

Sebuah tempat kecil yang miskin, bodoh, dan cabul!
            Novel luar biasa karya Ahmad  Tohari yang sempat diangkat ke layar lebar dengan judul Sang Penari ini memang sangat menarik untuk diulas. Kisah dalam buku yang menggambarkan sebuah tempat bernama dukuh Paruk yang semua masyarakatnya begitu menghormati dan memuja nenek moyang mereka bernama Ki Secamenggala. Dukuh yang tetap miskin, bodoh dan cabul menjadi ciri khas utama dukuh ini. Dukuh Paruk, meskipun dalam keadaan paling melarat sekalipun, namun masih memiliki sebuah kebanggaan akan kesenian rakyat mereka yang biasa disebut dengan Ronggeng. Belasan tahun yang lalu, ronggeng terakhir dukuh Paruk meninggal dunia akibat tragedi racun tempe bongkrek yang dijual oleh salah satu penduduk bernama Santayib. Sejak saat itu, tidak pernah ada lagi seorang ronggeng yang dapat dibanggakan oleh dukuh Paruk. Tanpa ronggeng, tanpa irama calung dan seloroh tembang berahi, dukuh Paruk kehilangan kesejatiannya. Dukuh Paruk bukanlah dukuh Paruk.
            Namun, segalanya berubah tatkala Sakarya, kamituwa dukuh Paruk memergoki cucu perempuannya yang masih berusia 11 tahun, Srintil menari dengan begitu luwesnya sambil menembang tembang-tembang yang biasa dikeluarkan mulut seorang Ronggeng. Di bawah pohon nangka ditemani tiga teman lelakinya, Rasus, Warta dan Darsun, perempuan kecil itu bak ronggeng sungguhan yang telah dihinggapi arwah indang, begitu rakyat menyebutnya. Maka sejak itu, dukuh Paruk sedikit demi sedikit kembali berseri dan menyambut lahirnya sosok ronggeng baru bernama Srintil yang ayu dan kenes.
            Srintil yang beranjak dewasa mulai menjalani kehidupan sebagai seorang ronggeng yang dielu-elukan, dipuji dan didambakan setiap orang. Terlebih oleh para kaum lelaki yang mampu membayarnya lebih. Tentu saja membayar dirinya dalam arti yang paling primitif, bukan sekedar menari atau melantunkan  tembang-tembang birahi. Srintil menjalani berbagi ritual khas ronggeng dukuh Paruk didampingi oleh Nyai Kertareja beserta suami yang merupakan dukun ronggeng yang amat dihormati. Dukuh Paruk telah bangun, mereka semua bersukacita dan saling berebut memberi kebaikan apapun terhadap Srintil.
            Kesenangan yang meluap-luap pada diri setiap masyarakat dukuh Paruk tidak dirasakan sama sekali oleh Rasus, pemuda yang menaruh hati pada Srintil. Baginya, dukuh Paruk telah merebut satu-satunya perempuan yang ia yakini sebagai figur perempuan sejati yang bahkan dia samakan seperti emaknya sendiri. Emak yang dari kecil belum pernah ia lihat sekalipun. Rasus tidak rela melihat Srintil menjadi seorang Ronggeng yang tanpa bisa dihindari, kecantikan dan kemolekan tubuhnya bisa dinikmati khalayak umum. Terlebih oleh para priyayi atau pegawai pemerintah yang memiliki uang banyak.
            Rasus memutuskan untuk pergi merantau menjadi salah satu pesuruh anggota batalion, dan kemudian dia diangkat menjadi seorang tentara yang tentu saja selalu pergi ketempat yang jauh. Hal itu menjadi salah satu cara Rasus untuk merelakan Srintil menjadi kepunyaan dukuh Paruk. Kepunyaan orang-orang hidung belang yang berjiwa petualang dan mempunyai harta berlimpah.
            Sepeninggal Rasus, Srintil masih beberapa kali melayani tamu yang memberikannya batangan emas dan perhiasan. Namun tidak pernah sekalipun perempuan yang memiliki paras ayu alami itu melupakan Rasus dalam kehidupannya. Kejayaan dukuh Paruk beserta ronggengnya terjadi pada tahun 1960 an dimana Srintil dan para penabuh calung sering diundang pentas dalam acara-acara pemerintah bersama seorang aktivis partai politik bernama Kang Bakar. Seseorang yang disegani dan dituruti semua perkataannya oleh masyarakat dukuh Paruk. Seseorang yang mengenalkan huruf dan radio pada mereka, seta seseorang yang paling semangat menggembar-gemborkan keadilan rakyat yang tertindas.
            Namun, geger Komunis pada tahun 1965 telah menghancurkan dukuh Paruk yang bodoh, miskin dan cabul itu karena kedunguannya. Orang-orang yang terlibat rapat dan kampanye yang dipimpin oleh Bakar menjadi tahanan pemerintah selama berminggu-minggu. Srintil, Sakum sang penabuh calung, Nyai kertareja, Sakarya dan semua masyarakat dukuh Paruk menjadi tahanan yang disalahkan dalam geger politik pada zaman itu. Bahkan mereka sendiri tidak mengerti mengapa mereka ditahan dan apa yang sebenarnya mereka lakukan?.
            Menjadi tahanan yang hampir 2 tahun lebih, merubah pribadi Srintil sebagai seorang Ronggeng. Bahkan ketika Rasus mengunjunginya di tahanan, Srintil yang ia kenal bukan lagi Srintil yang dulu. Srintil yang ayu, kenes dan murah senyum. Srintil seolah menjadi patung yang bernafas. Kaku, pucat. Dukuh Paruk yang terbakar dan masih saja bodoh menjadi salah satu sakisi perubahan zaman yang ganas dan kejam. Kejam terhadap tanah air Rasus. Tanah yang kecil dan dungu!.
            Semenjak dikeluarkan dari tahanan dan menjalani wajib lapor selama satu minggu sekali ke kantor kecamatan Dawuan, Srintil tidak lagi seceria biasanya. Dia begitu tersiksa dan kehilangan martabat sebgai seorang perempuan yang baru disadarinya. Kini ia mengubah pola pikir bahwa menjadi Ronggeng adalah suatu kebanggan. Namun ternyata kebanggaan itulah yang menyeretnya untuk menderita ditahanan selama 2 tahun dan menjadi salah satu bagian kesalahan hidup yang terbesar. Maka Srintil memtuskan untuk berhenti meronggeng meskipun banyk tawaran lelaki yang mendatanginya. Srintil berubah menjadi seorang perempuan somahan yang ikut nnegasuh anak tetangganya bernama Goder. Bersama bocah kecil itu, Srintil kembali menemukan harapan hidup. Kini, ia mengubah penampilannya dengan menyanggul rambutnya tidak terlalu tinggi supaya tidak bisa memamerkan tengkuknya yang dulunya merupakan daya tarik setiap lelaki yang melihatnya. Kebayanya tidak begitu ketat dan menutupi betis. Srintil benar-benar ingin berubah menjadi perempuan yang menjadi seorang istri laki-laki tertentu. Bukan perempuan milik umum!.
            Harapannya untuk kembali dihargai mulai tumbuh ketika seorang priyayi dari Jakarta yang sedang bekerja menyelesaikan proyek irigasi di sekitar dukuh Paruk mencoba mendekatinya. Laki-laki ini menunjukkan sikap sejati seorang lelaki yang baik dan bersungguh-sungguh. Sopan dan tak pernah sekalipun menyentuh Srintil. Laki-laki yang mapan dan sopan tersebut bernama Bajus. Namun ketika Srintil telah lambat laun melupakan Rasus dan berharap segera dipersunting Bajus, Bajus ternyata hanya menipu Srintil untuk ditawarkan kepada salah satu bosnya dengan imbalan proyek dan beberapa lembar uang. Dan Bajus sendiripun adalah lelaki impoten yang tak bisa mengawini Srintil.
            Hidup Srintil seperti dijungkir balikan dengan begitu keras ketika ia sudah membulatkan tekad untuk menjadi perempuan yang jauh lebih bermartabat. Akhir dari buku yang merupakan trilogi Catatan Buat Emak, Lintang Kemukus dan Jantera Bianglala ini ialah bahwa seorang ronggeng dukuh Paruk yang begitu dielu-elukan berubah menjadi perempuan tidak waras yang harus menderita akibat berbagai macam kekejaman zaman dan lelaki yang dikira mau menjadikannya istri. Rasus yang baru pulang dari dinas keluar Jawa membawa Srintil kerumah sakit jiwa dan mengakui bahwa Srintil adalah calon istrinya kepada dokter dan perawat disana dan bertekad untuk menggiring kampung halamannya agar lebih baik dan bangkit dari kebodohan, kedunguan dan kemelaratannya dengan cara memperkenalkan mereka semua pada Sang Wujud yang serba Tanpa Batas!

Hal-hal yang menarik dalam buku ini
            Ahmad Tohari begitu luwes dan sangat pandai mendongeng tentang alam dan lingkungan pedesaan yang begitu alami. Seakan-akan pembaca diajak masuk kedalam sebuah dukuh yang jorok, bodoh dan penuh seruan cabul tersebut. Salah satu buktinya banyak sekali umpatan asu buntung atau bajul buntung yang digunakan oleh tokoh dalam buku. Seolah-olah mereka mengajak pembaca untuk memasuki dunia mereka tanpa sungkan-sungkan.
            Buku ini berisi berbagai macam budaya zaman dulu seperti pekasih atau susuk, tembang-tembang jawa kuno dan bahkan permainan anak-anak dukuh Paruk yang melarat. Begitu nyata ketuka dibaca bahkan berulang-ulang kali. Bagaimana masyarakat dukuh Paruk begitu mencintai nenek moyang dan membanggakan profesi Ronggeng sampai-sampai para istri berebut untuk memberikan suami mereka kepada Srintil sungguh merupakan hal yang aneh sekaligus bodoh namun merupakan daya tarik tersendiri bagi pembaca. Ada banyak warna lain dalam kisah buku ini, budaya yang aneh, namun begitu terrasa biasa bahkan ganjil jika tidak dilakukan.
            Bahkan salah satu ritual sebelum sah menjadi ronggeng juga menarik perhatian para pembaca mislanya ritual bukak klambu dimana diadakan sayembara bagi semua laki-laki yang mampu memeberikan batangan emas untuk bisa tidur satu malam bersama ronggeng tercantik kala itu merupakan budaya yang terdengar aneh namun selalu mereka lakukan tanpa merasa ada yang salah atau melampaui batas. Seperti yanag telah diketahui, dukuh Paruk memang bodoh, miskin dan cabul! Itulah daya tarik yang mendominasi dalam buku ini.


           

Genduk

JUDUL           : Genduk
PENULIS       : Sundari Mardjuki
TAHUN          : 2016
PENERBIT     : Gramedia

Panggil aku Genduk!
            Novel berjudul Genduk ini adalah sebuah fiksi yang bergenre drama dengan setting waktu sekitar tahun 1970 di daerah Temanggung, Jawa Tengah. Tokoh Genduk merupakan pemeran utama dalam cerita dengan kepribadian gadis berumur 11 tahun yang sederhana namun memiliki rasa keingintahuan yang besar serta tekat yang kuat dalam menjalani kehidupannya yang keras. Genduk tinggal di desa paling puncak Gunung Sindoro, Temanggung. Tepatnya di desa Ringinsari bersama ibunya yang biasa ia panggil biyung.
            Sejak kecil Genduk selalu penasaran dan bertanya-tanya bagaimanakah rupa bapaknya yang dari bayi belum pernah dilihatnya itu. Dalam novel ini, Genduk masih digambarkan sebagai seorang gadis yang mencari jati diri serta mencari keberadaan ayahnya yang seumur hidup belum pernah dilihatnya. Genduk hidup sebagai anak yatim dengan biyung yang kaku  dan tegas disebuah gubuk reyot yang memiliki pohon jambu di halaman depannya yang mungil. Pohon jambu itulah yang menjadi teman setia Genduk melamun dan menghayalkan berbagai hal indah yang mungkin saja dapat dilihatnya dari atas pohon jambu tersebut. Dibawah desanya, terdapat desa-desa lain yang akan menghubungkan akses jalan ke kota Parakan. Pusat kota tempat berbagai macam ilmu dan kemajuan teknologi yang jauh lebih maju dibandingkan desanya yang belum ada listrik sama sekali. Bahkan pak lurah pun hanya bisa menyalakan televisi menggunakan aki. “Ingatanku tentang Pak’e lindap… seperti kabut yang datang pada pukul 4 sore yang menyelimuti lereng-lereng terjal Sindoro. Abu-abu. Dingin. Sunyi. Aku harus menyudahi harapku. Tetapi kemudian, titik-titik cahaya muncul. Terang Benderang. Berkilau. Bukan dilangit. Tapi nun jauh disana. Kota Parakan yang mulai hidup ketika lampu-lampu dinyalakan. Dari atas pohon jambu rumahku lampu-lampu itu hanya sebesar raupan tangan. Entah kenapa aku mempunyai keyakinan akan menemukan pak’e disana.” Itulah petikan dialog Genduk yang berbicara sendiri dengan hatinya yang sedih dan merindukan bapaknya.
            Ditengah-tengah konflik dalam dirinya mengenai keberadaan bapaknya, yang ia panggil pak’e, muncul konflik lain yang menimpa para petani tembakau didesanya. Hampir seluruh penduduk menggantungkan kehidupan mereka pada daun-daun tembakau yang bagaikan emas hijau tersebut. Termasuk biyung Genduk yang kerja keras mati-matian merawat ladang tembakau milik mereka. Para petani tembakau yang menghasilkan tembakau kualitas bagus tersebut harus menelan kekecewaan dan kerugian sejak ditipu oleh para gaok dan tengkulak. Bahkan desa digegerkan dengan peristiwa  bunuh diri salah satu petani sebab telah menjadi korban penipuan tengkulak dan tidak tahan dengan kejaran rentenir.
            Genduk merasa harus melakukan sesuatu untuk membantu penjualan tembakau milik biyung-nya yang merupakan harapan terbesar keluarga tanpa bapak itu. Genduk beranjak remaja dan terpaksa harus merendahkan harga dirinya pada seorang tengkulak bernama Kaduk yang berjanji akan membeli tembakau panenan biyungnya dengan harga tinggi jika Genduk mau menuruti permintaannya. Tapi ternyata Kaduk hanya membohongi anak yatim tersebut dan hasil panenan tembakau pun urung dibeli sampai berhari-hari. Genduk memutuskan untuk minggat dari rumah menuju kota Parakan dan disanalah ia terlunta-lunta sampai akhirnya mengetahui kebenaran bahawa bapaknya memang sudah meninggal dalam kisruh PKI tempo dulu.
            Dengan tekad yang meluap-luap Genduk percaya diri menemui seorang juragan tembakau terkaya di kota Parakan  bernama mbah Djan dan menceritakan segala duduk persoalan para petani  tembakau di desanya yang telah tertipu tengkulak dan mengalami kerugian yang cukup besar. Berkat keberaniannya tersebut, akhirnya petani-petani tembakau di desa Ringinsari tak perlu takut pada tengkulak-tengkulak yang menipu mereka sebab tembakau mereka akan dibeli dengan harga yang sesuai dengan kualitas tembakau yang mereka hasilkan.
                                                             
Berbagai hal yang menarik dalam buku ini!
            Selain judul dan latar waktu yang mengambil tahun 1970, novel ini begitu menarik karena menyuguhkan budaya kultural desa Ringinsari yang merupakan desa paling puncak Gunung Sindoro. Penulis menggambarkan begitu nyata bagaimana perbedaan budaya orang-orang nggunung dengan orang-orang kota Parakan yang lebih maju.
            Meskipun novel ini selalu menceritakan kehidupan sehari-hari yang sederhana, nyatanya cerita sederhana itulah yang mampu menggugah hati pembaca untuk terus melanjutkan halaman per halaman karena semakin dibaca, tulisan Sundari Mardjuki mampu mengingatkan momentum permainan anak-anak pada jaman dahulu yang berbanding terbalik dengan jaman sekarang.
            Sundari memasukkan berbagai budaya orang Temanggung dalam ceritanya tanpa sedikitpun membuat pembaca jenuh. Contohnya  budaya wiwitan, permainan obak sodor, gending-gending jawa dan juga puisi-puisinya yang bukan hanya indah tapi memiliki makna yang dalam. Selain warna lokal yang begitu penting, pembaca juga dapat mengetahui banyak hal tentang daun yang bernama tembakau, yang merupakan harapan paling besar masyarakat desa Ringinsari. Genduk dan para petani lain menanam dan memanen tembakau sampai merajangnya hingga dapat terjual ke pabrik-pabrik rokok.
            Ditengah-tengah cerita, kehidupan remaja Genduk semakin menarik dengan munculnya putra pak Lurah Cokro yang bernama Sapto Adi dan menaruh hati pada Genduk.  Sapto selalu mendekati Genduk dengan alasan meminjam buku catatannya. Bagi Genduk, didepan Sapto ia harus tampil cantik dan rapi meskipun baju-baju yang ia pakai bukanlah pakaian yang mahal.
            Selain kisah asmara Genduk, penulis juga menjabarkan berbagai jenis tembakau dari kualitasnya. Totol C, Totol D hingga seterusnya sampai pada daun yang berwarna gelap dan memiliki aroma paling kuat. Daun inilah emas yang sebenarnya, disebut Srintil, dan berharga paling tinggi. Petani yang mampu menghasilkan daun tembakau kualitas srintil akan sangat memperoleh keuntungan yang besar. Tidak heran Sundari mampu mengemas berbagai hal menarik mengenai tembakau, petani, bahkan proses penanaman hingga kualitasnya yang paling tinggi sebab pembuatan novel ini membutuhkan waktu kurang lebih 4 tahun dan riset langsung ke petani di Desa Mranggen Kidul, Parakan Kabupaten Temanggung. Beberapa petani yang menjadi narasumber karya Sundari Mardjuki ini sekaang sudah wafat.
                                 
Adakah yang kurang dalam Novel ini?
            Genduk dan seluruh kehidupan sederhananya memang sangat menarik untuk diikuti. Akan tetapi respon pembaca pasti akan lebih senang jika pada bagian Genduk mencari keberadaan pak’e alias bapaknya yang seumur hidup belum pernah dilihat lebih mengaduk-ngaduk emosi pembaca. Penjualan tembakau srintil milik biyung Genduk kurang lengkap untuk menambah kebahagiaan anak yatim itu. Akan lebih baik jika ending dibuat dengan bertemunya bapak dengan Genduk setelah sekian lama karena suatu alasan. Bukan meninggal dunia karena kisruh PKI.

Flickr Images

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Sandi Ovinia Putri

Tulisan tidak hanya berhenti di satu masa dan hanya satu kepala.
Tulisan bisa lebih kuat dari pada peluru, sebab ia mampu menembusa daya pikir kita.

Popular Posts