f

FREYA

/
0 Comments
         

Colour in My Life
           Bunyi derit pintu terbuka perlahan, daun pintunya sudah mulai berkarat dan badan kayunya pun mulai lelah untuk berdiri. Para rayap telah berhasil mengalahkan kekokohannya. Tak kalah kejam dari para rayap itu, para rumput liar pun dengan seenaknya memenuhi halaman dan tepi bangunan reot dengan daun pintu yang mulai berkarat tersebut.
          Terdapat dua jendela disebelah kanan dan kiri yang sedikit membuka, mengintip barangkali ada kawanan burung yang penasaran dan mengunjungi bilik-bilik tak terurus didalam bangunan itu. Sebuah rumah kayu dengan halaman yang tidak begitu luas dan dapat dipastikan sempat berjaya dengan kemegahan khas joglo serta ukiran kayu yang rumit di sekeliling bingkai jendelanya yang penuh arti seni.
          Di sekitar halaman terdapat ilalang-ilalang yang tumbuh menjulang berantakan diantara pot bunga yang hanya berisikan tanah kering. Terlihat sudah lama tak dirawat bahkan tidak dipedulikan sama sekali. Disela-sela pagar rumah yang tak terlalu tinggi dan semakin rapuh itu, terdapat sekumpulan tanaman yang memiliki wangi khas, yaitu Kemangi. Berumpun-rumpun tumbuh bagaikan semak belukar. Tingginya hampir menyamai pagar rumah yang sudah rapuh itu. Daun-daunnya dipenuhi lubang kecil disebabkan oleh ulat-ulat yang kelaparan.
          Perlahan, langkah kaki pemuda itu menjadi satu-satunya suara yang berada disekitar rumah kayu. Senyap, hening, hanya dia sendiri yang mulai menatap hampa bangunan reot yang berada dihadapannya sekarang. Matanya yang tajam seakan menyelidik dan penuh tanda tanya. Mengatakan bahwa dia harus segera menemukan apa yang seharusnya menjadi miliknya.
          Pemuda itu, tampaknya bukanlah orang biasa. Dari penampilannya yang necis dan modis dapat disimpulkan bahwa dia mempunyai pekerjaan bergaji tinggi. Apalagi jika dilihat dari jam tangannya yang tampak berkilau dengan tulisan Rolex yang bertengger manis ditangannya yang putih bersih. Nampaknya dia pemuda yang sangat memperhatikan penampilannya.
       Dia menengok ke kanan, dan juga kekiri dengan menahan napas. Memeriksa keadaan. Kalau-kalau ada orang yang mengetahui keberadaannya. Jangan sampai ada yang mengikutinya. Itu akan menjadi sangat buruk. Dia mengeluarkan sapu tangan abu-abu dari ranselnya yang tampak berat. Entah barang apa saja yang berada disana. Dengan sapu tangan itu, dia membuka daun pintu berkarat dan suara deritnya begitu keras terdengar. Mungkin karena sudah terlalu lama ditinggal oleh pemiliknya. Debu segera berhembus pelan ketika pemuda itu memasuki rumah, bercampur dengan udara yang terasa sesak ketika dihirup.
          Pemuda itu mengamati sekeliling, kursi-kursi berdebu dan juga beberapa pigura yang masih setia menggantung di dinding bilik yang menyerupai ruang tamu itu sudah mulai memudar. Foto yang terpajang disana mulai tampak buram. Hanya ada warna hitam dan putih. Foto-foto yang mirip seperti gadis kecil dengan rambut dikepang dua dengan pita yang panjang. Tersenyum riang bersama  saudara laki-lakinya.
          Ada sesuatu yang membuat dada pemuda itu semakin sesak memandang foto gadis itu. ”Maaf sudah membuatmu lama menunggu…” ucapnya lirih sambil mengelap kaca pigura itu dengan sapu tangannya. Fotonya terlihat sedikit lebih jelas, tentu saja senyum gadis difoto itupun semakin mengembang.
          Rumah kayu ini hanya terdiri dari ruang tamu,dapur,dan dua bilik kamar kecil. Pemuda itu lantas memasuki salah satu bilik didekat ruang tamu, dipintunya terdapat tulisan “ADAM & FREYA”. Kenangan pemuda itu mengajaknya mengarungi waktu masa lampau. Sekitar 15 tahun yang lalu, tulisan Adam & Freya itu masih tergantung sama persis di pintu kamar kecil ini. Sebuah kamar sederhana yang menjadi tempat favorit mereka berdua. Menghabiskan waktu seharian ketika libur sekolah, belajar, bermain, bercanda, berimajinasi. Tidak banyak yang dapat mereka lakukan diluar rumah, para tetangga mereka bermukim lumayan jauh dari tempat mereka tinggal. Otomatis teman-teman sekolah mereka juga jarang bermain di lingkungan rumah kayu itu.
         Momen-momen indah berkelebat saling berdesakan dalam benak pemuda itu.” Dimana krayon baruku? Jangan-jangan kakak menghilangkannya lagi!” tuduh Freya suatu sore ketika akan menggambar. Menggambar adalah hobi barunya waktu itu. Dan krayon itulah belahan jiwanya. Freya akan ngambeg seharian jika krayon kesayangannya ternyata hilang. “Mungkin kamu lupa naruhnya dimana?” kata Adam sambil memainkan mobil-mobilan di lantai. “Masak sih? Nggak mungkin aku lupa. Aku akan bilang ayah ah. Mau minta di belikan lagi.” Ujar Freya berbinar. “ Dicari dulu laah, jangan langsung minta yang baru. Kasihan kan ayah.” Kata Adam berhenti memainkan mobilnya dan menatap wajah adiknya yang bulat. “ Tapi kan sudah hilang, aku akan bilang ayah!” teriak Freya sambil berlari keluar kamar. Adam hanya menghembuskan napasnya,” Dasar keras kepala”.
       Beberapa menit kemudian Freya menghambur masuk kamar dengan terengah-engah. Matanya berkaca-kaca. “Tuh kan? Apa aku bilang. Ayah tidak akan mau membelikanmu krayon baru!.” Ucap Adam menyeringai. Freya tidak peduli, dia mendekati wajah kakaknya sambil menangis tanpa suara.”Sstt! ayah dan ibu bertengkar.” Ucapnya lirih, bahkan nyaris tak terdengar. Adam tampak bingung dan mengernyitkan dahi. “Aku bahkan belum sempat bilang ingin krayon baru. Mereka bertengkar, aku takut... ayah dan ibu seperti monster.” Tambahnya pelan.
        Adam mengetahui apa yang sedang terjadi, belakangan ini memang ia sering mendapati ayah dan ibunya kurang akur. Entah karena sebab apa. Namun, dia baru menyadari bahwa situasi semakin memburuk. Dan ini tidak baik bagi dia dan adiknya.” Freya...jangan menangis. Nanti ayah dan ibu dengar, kamu bisa dimarahi. Semua akan baik-baik saja. Mereka hanya berdiskusi mengenai suatu hal. Mungkin tentang sekolah kita. Tidak usah takut.” Bujuk Adam sambil memeluk adiknya. “Ayah akan pergi, ibu juga. Aku mendengar mereka tadi. Apa yang harus kita lakukan. Apa kita harus berkemas juga? Bagaimana dengan krayonku yang hilang? Ada kertas kecil disana. Berisi daftar nama tempat yang akan aku kunjungi setelah besar nanti. Aku tidak ingat namanya. Aku harus menemukannya. Bisakah kita membeli krayon baru di perjalanan nanti?” adiknya terus mengoceh tanpa mengetahui keadaan sebenarnya. Yang dia tahu, dia sedih karena krayonnya hilang dan takut melihat ayah dan ibu berteriak- teriak karena bertengkar. “ Iyaa, kita akan membeli lagi nanti, Fre” hibur Adam. “Sekarang diamlah”.
         Pintu kamar tiba-tiba terbuka dengan satu bantingan keras. Ayah masuk terburu-buru dengan sebuah ransel besar dan menarik tubuh mungil Freya dengan kasar. “ Ayo Freya! Cepat! Kita akan jalan-jalan.” Teriak ayah tanpa menjelaskan apapun. “ Kakak!” panggil Freya sambil menangis.” “Kita pergi berdua. Kakak akan menyusul dengan ibu.” Bayangan mereka seketika menghilang di belokan pintu kamar. Adam terpekur dan tak bisa berkata apapun. Apa yang baru saja dilihatnya? mereka semua pasti sudah gila.
          Tangisan ibu yang tersedu-sedu menyadarkan Adam yang masih bengong dengan kejadian barusan. Dia segera berlari menemui ibunya yang bersandar di dekat almari. Tergolek lemah dengan mata sembab,” Ibu? Ada apa? Apa yang terjadi? Kemana ayah akan pergi? Kenapa Freya juga diajak?” pertanyaan beruntun itu pasti sangat menyayat hati ibunya. Bagaimana ibunya bisa menjelaskan semua ini tanpa menyakiti perasaan anak-anaknya.” Adam…” ucapnya pelan sambil mengelus kepala anak laki-lakinya itu. Adam menunggu penjelasan ibunya. “ Mulai saat ini, Adam akan tinggal dengan ibu disini. Ayah dan ibu harus menyelesaikan urusan masing-masing. Nanti kita akan berkumpul lagi, jangan khawatir. Ayah dan Freya akan baik-baik saja. Mereka akan mengunjungi kita disini.” Jelas ibu sambil tersenyum
         “Tapi kenapa mereka terburu-buru? Apa yang harus diselesaikan ? kemana mereka akan tinggal? Diluar dingin. Bahkan ayah belum sempat mengambil jaket tadi.” Kata Adam lagi. Ibu memeluk Adam kecil sambil mengelus kepalanya. Dadanya juga terasa sesak untuk menjawab pertanyaan putra kecilnya yang kebingungan. “Maafkan ayah dan ibu Adam. Jangan khawatir, ayah dan Freya akan baik-baik saja...”
          Adam tahu ada suatu hal yang tidak boleh ditanyakannya saat ini. Dia menahan diri untuk bertanya walaupun dalam hati ia sangat sedih dan bingung. Adam memeluk ibunya sambil menangis tanpa suara. Dia akan sangat merindukan ayah dan adiknya. Entah kapan dia  bisa berkumpul dengan mereka seperti dulu lagi...
        Pemuda itu mengusap air matanya yang menetes pelan. Dia masih menatap pintu kamar bertulisakan namanya dan adiknya. Seminggu setelah kejadian itu, dia dan ibunya juga pergi meninggalkan rumah ini dan memulai hidup baru di Solo. Sementara ayah dan dan adiknya tidak memberi kabar sama sekali. Adam tahu, apa yang dikatakan ibunya dulu hanya untuk membujuknya agar tidak sedih. Adam tahu bahwa Freya dan ayahnya tak akan pernah kembali lagi. Dulu Adam memberontak dan merasa marah pada mereka. Termasuk ibunya. Namun kini, dia menyadari bahwa persoalan rumah tangga mereka tidak terjadi tanpa sebab. Adam tidak peduli apa dan bagaimana awal mula sebab perceraian orang tua mereka. Yang jelas, kini 15 tahun sudah berlalu tanpa mereka. Dan itu membuatnya tertekan.
         Ada sesuatu yang masih mengganjal dihatinya. Dia ingin bertemu dengan ayah dan adiknya. Sudah lama dia menahan perasaan ingin kabur dan menyusul mereka. Tapi kemana? Dia bahkan tidak mempunyai petunjuk apapun. Ibu hanya bilang bahwa mereka pasti baik-baik saja. Adam mengusap foto dalam pigura kusam itu lagi, “ Maaf kakak tidak bisa menjemputmu. Apa kamu baik-baik saja sekarang? Pasti kamu sudah menjadi perempuan dewasa yang cerdas dan manis. Apa kamu sudah melanjutkan kuliah? Kamu tinggal dimana? Apa kamu masih hobi menggambar?...” Adam tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. Air matanya terus menetes demi membayangkan betapa adiknya sekarang sudah tumbuh cerdas dan dewasa. Betapa rindunya dia pada Freya yang dulu selalu menghabiskan waktu bersamanya. Kekhawatirannya pada Freya begitu besar. Dimana dia? Apa dia sehat? Apa dia baik-baik saja? Bagaimana kabar ayahnya? Ada banyak pertanyaan yang masih terpendam dalam otaknya yang kecil dan putus asa. Ada banyak penjelasan dan cerita yang ia tahan untuk tidak pernah lagi menyinggung dan mengingat hal pedih ini dalam hidupnya. Namun, siapa yang kuasa memisahkan talinan darah diantara mereka? Semudah itukah membuang seseorang yang menjadi bagian dalam dirinya, bagian dari hidupnya?.
          Siang ini, Adam kembali ke rumah masa kecilnya. Rumah yang hampir 10 tahun lebih ditinggalkan oleh penghuninya. Ada sesuatu yang harus dia temukan ditempat ini sebelum dia mulai mencoba mencari adiknya. Adam tidak tahu apakah barang yang ia cari masih berada disini ataukah sudah hilang tak tahu rimbanya. Ia menggeledah seluruh laci yang mulai berlubang-lubang. Membuka almari pakaiannya dan Freya dulu. Membuka kotak mainan yang berisi mobil-mobilan dan berbagai boneka binatang milik adiknya.
        Pikirannya kembali melayang-layang, kebersamaannya dengan Fteya berkelebat cepat dan silih berganti. Suara manja adiknya, suaranya saat menangis, berteriak, memaksa dan bahkan tertawa gembira. Air matanya kembali menetes,” Bagaimana dengan krayonku yang hilang? Ada kertas kecil disana. Berisi daftar nama tempat yang akan aku kunjungi setelah besar nanti. Aku tidak ingat namanya. Aku harus menemukannya. Bisakah kita membeli krayon baru di perjalanan nanti? “ Suara adiknya terus mendengung dan berulang-ulang.
        Dimana krayon itu? Dimana satu set krayon yang hilang dulu? Apa mungkin masih disini? Semoga masih disini. Adam menebak-nebak dalam hati dengan gusar. Krayon itu satu-satunya petunjuk yang harus dia temukan untuk bisa mencari adiknya. Mengingat ayah dan Freya tidak meninggalkan apapun sebagai petunjuk dimana mereka tinggal, entah nomor telepon atau alamat.
           Freya bilang dia ingin mengunjungi beberapa tempat ketika dia sudah besar nanti. Mungkin terdengar hanya gurauan anak kecil biasa. Imajinasi gadis polos yang asal bicara. Namun hal itu akan menjadi sangat berharga bagi Adam sekarang. Itu satu-satunya harapan baginya untuk bisa bertemu lagi dengan Freya. Tidak ada salahnya mencoba. Dan ada 1000 kemungkinan yang bisa saja terjadi. Tunggu kakak Freya, tunggu kakak. Adam terus menggeledah bilik kecil itu. Peluhnya mulai membasahi kening dan dagunya. Nafasnya memburu, suara dalam hatinya selalu berdoa dan mengucap kalimat,” Tunggu kakak Freya, tunggu kakak.”
          Adam meraba sesuatu yang berdebu di bawah kolong dipannya yang juga mulai berlubang karena para rayap. Dia menggapai sesuatu yang tampak berbentuk persegi itu keluar dari kolong kamar tidur. Dia meniup kumpulan debu yang menutupi benda kotak itu. Dan matanya langsung berbinar! Satu set krayon yang kemasannya sudah rusak serta krayon yang mulai mengikis berantakan. Mungkin para tikus nakal sudah menjadikannya santapan makan malam selama 10 tahun lebih ini. Namun bukan itu yang terpenting. Yang terpenting ialah catatan kertas kecil yang terselip disana. Masih bisa terbaca meskipun ujung-ujungnya juga sudah terdapat gigitan hewan pengerat yang menghuni rumah ini dengan bebas.
          Catatan kecil itu, terlihat sangat kusam dan lusuh. Coretan huruf ceker ayam adiknya terlihat sangat asli. Adam berdiri dan membaca tulisan itu, Freya menuliskan 3 tempat yang sangat ingin ia kunjungi ketika sudah dewasa. Yang pertama, dia ingin pergi ke Aceh, kota serambi Mekkah yang terkenal. Dia ingin jalan-jalan kesana suatu saat nanti. Tempat kedua, ia ingin mengunjungi salah satu museum di kota Jakarta. Ketertarikannya pada seni dan benda bersejarah membuatnya ingin pergi kesana. Dan yang ketiga, dia ingin pergi ke kebun binatang untuk mengambar banyak binatang dan dijual pada para pengoleksi barang antik. Dia pikir gambar binatang yang beragam merupakan hal yang sangat unik dan disukai banyak orang. Benar-benar pemikiran anak kecil yang hanya asal bicara diusia 8 tahun. Dan merypakan tempat-tempat biasa yang diidamkan anak seumurannya. Tapi Adam sedikit berbinar dan tersenyum penuh arti.
          Meskipun dia tahu, sangat kecil kemungkinan dia bisa menemukan Freya ditempat-tempat seperti itu. Bahkan mungkin Freya sendiri sudah lupa dengan tempat yang ditulisnya sewaktu kecil. Bisa saja sekarang impiannya sudah berubah, dia ingin mengunjungi tempat-tempat yang lebih hebat dan menantang Namun Adam masih berharap. Dia tidak akan menyerah dan putus asa. Biar bagaimanapun, dia akan mengunjungi tempat-tampat ini. Tidak peduli berapa kali dia gagal dan berapa banyak tempat-tempat yang akan dia datangi.
       Adam menutup kembali pintu berderit yang sudah rapuh itu. Angin berhembus pelan dibawah terik mentari yang menyengat kulitnya. Ilalang-ilalang itu masih menunggu kepergiannya sambil melambai-lambai. Begitu juga rumput liar dengan diam menyaksikan langkahnya menuju jalan setapak yang akan membawanya ke pusat kota. Masih senyap, hening. Bayangan-bayangan masa kecilnya bersama Freya kembali berlarian dalam otaknya. Adam bergegas dan memantapkan langkah kakinya. Dia tidak akan membuang-bunag waktu mulai detik ini. Biarpun sejauh apapun, sebanyak apapun kota yang akan dia datangi, dia tetap yakin dia akan segera bertemu dengan Freya.” Tunggu kakak Freya, tunggu kakak!”.

         


You may also like

Tidak ada komentar:

Flickr Images

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Sandi Ovinia Putri

Tulisan tidak hanya berhenti di satu masa dan hanya satu kepala.
Tulisan bisa lebih kuat dari pada peluru, sebab ia mampu menembusa daya pikir kita.

Popular Posts