f

Sinarku Meredup

/
0 Comments

Dandelion

    Aku melihat lesatan cahaya. Meliuk sebelum menjelma menjadi sesosok peri. Aku bingung,mana mata dan mana sayap. Sebab mereka sama-sama indah dalam naungan peri tersebut. Lalu ketika lesatan cahaya itu meredup, jelmaan peri tersebut juga perlahan meredup. Berbaur dengan udara,melayang tanpa mengepakkan sayap,dan akhirnya lenyap menembus awang-awang. Ketika itu, hujan menyahut dengan tenang. Angin juga turut mendesir membenarkan. Bunyi kecipak jalan setapak yang becek ikut mengantarku ke timur. Ke sebuah tempat yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Tempat dimana kalian tidak bisa lagi bertegur sapa dengan orang lain, tempat dimana kalian akan berjumpa dengan banyak malaikat...tempat terakhir bagi orang yang kalian sayangi.
    Burung-burung hantu menyambut lugu, tetes air sisa hujan tadi perlahan turun dari rumput-rumput liar yang tumbuh menjulang. Orang-orang menatapku dengan pilu. Langit juga ikut menangis,semua menghadiri pemakaman nenekku pagi itu. Pagi pertama yang akan kulalui tanpa kehadirannya. Aku bertanya pada diriku sendiri. Mampukah aku? apa aku bisa mandiri? apa aku bisa menyelesaikan masalahku tanpa beliau?. Bahkan, apakah aku bisa menjahit sendiri kancing seragam SMPku yang sering lepas...
    Tanpa tulang ringkihnya, dan kantung mata yang sudah berkerut. Juga dahinya yang berombak kecil,aku sadar  semuanya sudah berlalu, telah terjadi dan pasti akan terjadi. Aku harus mencoba mengembangkan senyum. Karena betapapun perihnya peristiwa yang menimpa, Tuhan masih berada di samping kalian. Tuhan tahu apa yang belum kalian ketahui. Dan Tuhan selalu menyiapkan kejutan bagi kalian yang selalu menggenggam tangannya.
    Kata embun, orang-orang yang kalian sayangi akan tetap berada didekat kalian. Berdiri disamping kalian, dan menegerti apa yang kalian rasakan. Perasaan rindu, senang, sesal, bahkan sedih. Namun,kata embun juga, mereka tidak bisa saling bertukar cerita pada kalian seperti saat mereka masih hidup dulu. Aku yakin, nenek selalu berada didekatku, meskipun aku tidak lagi dapat melihatnya atau menyapanya.
    Aku ingin hidup seperti kaktus. Meskipun kesepian di tengah gurun,yang panas, kotor dan berdebu. Dia tetap mampu bertahan. Tanpa air, tanpa makanan. Karena dia tahu dia harus tetap tegar. Dia punya duri yang digunakannya untuk melindungi diri, tak peduli seberapa kuat musuh yang akan tiba. Aku ingin, seperti kaktus,berusaha tetap hijau pada keadaan alam yang begitu ekstrim. Dan ketika Tuhan memberinya hadiah hujan, dia tidak serta merta melahap semua air hujan tersebut. Dia menyimpannya untuk cadangan air yang kelak akan dia butuhkan lagi.
    Bagiku, nenek adalah sebenar-benarnya ibu. Ibu yang merawatku sejak kecil. Yang memarahiku ketika nilaiku jelek. Yang mencariku dengan tongkat rapuhnya ketika aku main sampai larut sore. Dan yang mendekapku ketika petir menyambar di tengah hujan di malam hari. Nenek segalanya. Dia menggantikan posisi ibuku sewaktu kecil. Dia menjadi sosok wanita hebat yang merawat anak bandel sepertiku ketika ibu bekerja. Terimakasih atas setiap peluh dan omelan sayangmu padaku nenek....
    Maafku belum cukup untuk membuatmu bahagia. Begitupun aku tak mampu membalas budi setara dengan apa yang telah engkau persembahkan untuk mendidikku selama ini. Nenek mengidap ASMA sejak bertahun-tahun yang lalu... ketika aku kelas 2 SMP, nenek sering kambuh dan keluar masuk rumah sakit. Disamping ASMA, nenek juga menderita Hipertensi. Ada banyak beban pikiran dalam benaknya. Kehidupan yang keras memaksanya untuk tersenyum getir dan bertahan merawat banyak anaknya dulu dan juga aku...Dan ini, pertama kalinya aku menyaksikan bagaimana kematian merenggut orang yang benar-benar berarti dalam hidupku. Menyaksikan dengan mata yang berkaca-kaca bagaimana perempuan ringkih itu berada pada saat-saat sakaratul maut. Dan rasanya benar-benar ngilu luar dalam. Kalian bisa membayangkan bagaimana rasanya tersayat pisau berkali-kali... Sejak itu, aku merasa bahwa Tuhan tidak adil, Tuhan egois dan tidak peduli pada kehidupanku. Namun ternyata itu pemikiran yang bodoh.
   Justru dengan menunjukkan bagaimana kematian begitu menjadi hal yang ditakuti dan di benci, aku menjadi pribadi yang lebih banyak bersyukur dan mengingat dosa-dosa. Menjadi pribadi yang menghargai waktu dan berusaha menjadi lebih bermanfaat bagi orang lain. Kematian pasti akan terjadi pada siapapun, karena itu bersiap-siaplah...Meskipun sakit,meskipun berat. Aku, kalian semua harus bersiap, meninggalkan dan ditinggalkan orang-orang yang kita sayangi cepat atau lambat. Sebab semua hanyalah titipan. Sebelum Tuhan mengambil apa yang Dia titipkan pada kalian, maka jangan menyia-nyiakan waktu untuk melakukan hal terbaik yang dapat membanggakan dan membuat orang-orang yang kalian sayangi bahagia....



You may also like

Tidak ada komentar:

Flickr Images

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Sandi Ovinia Putri

Tulisan tidak hanya berhenti di satu masa dan hanya satu kepala.
Tulisan bisa lebih kuat dari pada peluru, sebab ia mampu menembusa daya pikir kita.

Popular Posts